LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
OLEH:
SATRIA EKA WIJAYA
D1B1 14 071
AGT- C
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
2017
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Para ahli hama
pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 mulai menyadari bahwa
dasar-dasar bilogis dalam mengatasi hama tanaman yang dikemangkan terdahulu
kebanyakan hanya mencoba-coba saja. Sebagian berdasarkan naluri dan sebagian
karena tidak tersedianya alternatif-alternatif lain, mereka menganjurkan
penggunaan varietas tahan hama dan pengelolaan habitat (pergiliran tanaman,
pembajakan, pemusnahan sisa-sisa tanaman) untuk memaksimalkan keuntungan dari
pemberantasan alamiah dan lingkungan.
Dengan ditemukannya
pestisida kimia menjelang akhir Perang Dunia II pemberantasan hama model dulu
diganti dengan penggunaan pestisida, terutama untuk mengatasi hama serangga.
Namun sekitar tahun 1950an dan pada tahun-tahun berikutnya, ketika dampak
negative penggunaan pestisida makin menjadi-jadi yang merupakan dorongan kepada
pada ahli untuk mengembangkan konsepsi PHT.
Pemikiran-pemikiran
yang menekankan perlunya pendekatan ekologi dalam pemberantasan hama berkembang
di Jerman, Nova Scotia, Kanada dan California, Amerika Serikat menganjurkan
perencanaan penyemprotan pestisida yang harus sesedikit mungkin berakibat buruk
bagi spesies-spesies yang berguna, tetapi sepenuhnya menekan hama.
Penggunaan
konsepsi PHT untuk memberantas hama yang dapat mengintegrasikan pemberantsan
hayati dengan insektisida. Dikatakan dalam banyak hal kedua komponen
pemberantasan dapat koplementer dan saling menunjang asalkan saat aplikasi
insektisida itu tepat yaitu apabila populasi hama telah mencapai tingkat
kepadatan tertentu. Dalam mengendalikan sesuatu hama merupakan masalah ekologi
yang kompleks.
Menjadi suatu
keharusan untuk menekan risiko dampak negative pestisida tersebut menjadi
sekecil mungkin. Pestisida harus digunakan secara bijaksana yaitu bila perlu
saja dengan memperhitungkan jumlah populasi hama sasaran dan musuh-musuh
alamnya, spesifisitas, lamanya residu pada tanaman. Penanganannyapun harus
sangat hati-hati, misalnya ketika mengencerkan dengan air, mengaduk, teknik
menyemprot, menyumpan membuang wadah kaleng atau pembungkusnya dan membersihkan
tubuh setelah aplikasi.
Indonesia yang
juga mengalami dampak-dampak negatif tersebut karena penggunaan pestisida yang
sangat berlebihan dalam program intensifikasi masal, mendorong para pakarnya
untuk mengkaji ulang dan mencari alternatif jawaban yang lebih baik dalam
mengatasi masalah hama-hama. Konsep yang paling tepat ialah pengendalian hama
terpadu yang penenrapannnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
social/budaya setempat. Konsep pengendalian hama terpadu tersebut mutlak
penting diterapkan untuk lebih menjamin proses pembangunan pertanian yang
mengutamakan kelestarian lingkungan, termasuk kesehatan manusia suatu teknologi
pertanian yang bersahabat dengan lingkungan, memantapkan taraf produksi yang
telah dicapai dan meningkatkan efisiensi masukan.
Pengendalian
hama terpadu bukan merupakan tujuan, ettapi suatu teknologi pengendalian hama
yang memanfaatkan berbagai cabang ilmu dalam satu ramuan yang serasi yang satu
memperkuat yang lain. Sebab terjadinya masalah hama bukan hanya akibat
interaksi antara tanaman – hama itu sendiri, tetapi disebabkan juga oleh
berbagai factor fisik dan biota di sekitarnya, seperti iklim dan cuaca, tingkat
kesuburan tanah, mutu benih, teknik-teknik agronomi, keragaman biota dan ulah
manusia sendiri sebagai pengelola.
Dalam keadaan
lapangan terdapat sejumlah spesies hama yang menyerang tanaman. Di antaranya
ada yang berstatus hama utama, sebab dari segi ekonomi paling merugikan ada
yang berstatus hama kurang penting, sebab tidak begitu merugikan, hama
sekunder, hama yang timbulnya sewaktu-waktu dan hama potensial. Status sesuatu
spesies hama dapat berubah dari berstatus hama utama menjadi hama kurang
penting atau sebaliknya.
B.
Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan
dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui organisme hama atau penyakit
pada suatu tanaman dan untuk mengetahui jenis tanaman, jenis serangan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT), serta teknik pengendaliannya.
Kegunaan yang
dilakukan pada praktikum ini adalah agar dapat mengetahui organisme hama atau
penyakit pada suatu tanaman dan agar dapat mengetahui jenis tanaman, jenis
serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), serta teknik pengendaliannya.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) menitik beratkan pada terpeliharanya ekosistem produksi
pertanian tetap dapat dipertahakan dan kesehatan yang mengkonsumsinya aman dari
pestisida (Novizan, 2008).
Pemanfaatan
agens pengendali hayati untuk mengendalikan hama merupakan pilihan yang tepat
untuk menekan penggunaan bahan kimia di sektor pertanian. Indonesia merupakan
negara tropis yang kaya akan ragam hayati, yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Subagiya, 2013).
Organisme berguna
tersebut dapat berfungsi sebagai pathogen, parasit, dan predator bagi hama-hama
tanaman. Hubungan fungsional antara hama dan musuh alaminya akan berlangsung
dengan baik apabila memenuhi beberapa persyaratan yaitu: 1) Musuh alami dapat
menemukan inang/mangsa, 2) Jumlah minimal populasi musuh alami mampu membunuh
inang/mangsa, 3) Sinkronisasi dan fenologi antara musuh alami dengan
inang/mangsa, dan 4) Selalu tersedia pakan bagi agens hayati untuk dapat
bertahan hidup (Wetterer, 2006).
Suhu menjadi
penting sebagai factor pembatas yang mempengaruhi segalaaktivitas serangga dan
memiliki dayaadaptasi tertentu dengan lingkungannya.Suhu menjadi faktor yang
relevan yangmempengaruhi aktivitas hama (Nietschke et al.,2007).
Seranggamemiliki
kisaran suhu tertentu untukperkembangan dan proses fisiologisnya,dimana pada
suhu tertentu aktivitasserangga tinggi dan akan berkurang(menurun) pada suhu
yang lebih rendah.Fakta ini memperlihatkan bahwa suhu yangtidak mendukung akan
memperpendekumur serangga (Thomson etal., 2010).
Penerapan pola
tanam tumpangsari akan lebih efisien dalam menekan serangan hama apabila
tanaman sela yang digunakan dapat menjadi penolak hama dari tanaman utama. Sistem
tumpang sari, mampu menurunkan kepadatan populasi hama dibanding sistem
monokultur, dikarenakan peran senyawa kimia mudah menguap dan ada gangguan
visual oleh tanaman bukan inang, yang mempengaruhi tingkah laku dan kecepatan
kolonisasi serangga pada tanaman inang. Sejumlah tanaman juga berpotensi untuk
menjauhkan dari penyakit-penyakit tertentu. Pemanfaatan bahan alami bioaktif
tanaman sebagai pengendali hama dan penyakit yang aman bagi organisme
sebenarnya lebih mudah karena bahan baku banyak tersedia di lingkungan petani.
Bahkan, seringkali terabaikan dan dianggap gulma atau tamanan penganggu
(Chandra, 2013).
Pada pertanaman
polikultur, jumlah spesies hama poliphag lebih tinggi dibandingkan dengan hama
monophag. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mencari inang. Pada agroekosistem
beragam, spesies monophage mengalami kesulitan untuk menemukan inangnya,
sehingga akan berdampak pada menurunnya laju imigrasi dan kolonisasi.
Faktor-faktor lain seperti kesukaan akan tanaman inang tertentu (preferensi),
kecepatan memilih tanaman inang, adanya musuh alami juga sangat berpengaruh.
Populasi spesies predator dan parasitoid cenderung lebih tinggi pada pola
pertanaman polikultur dibandingkan dengan monokultur. Hal ini berkaitan dengan
ketersediaan nektar (madu), mangsa (bagi predator) dan host (bagi parasitoid)
serta habitat mikro pada pertanaman polikultur (Rizka, 2015).
Kekuatan unsur-unsur alami sebenarnya mampu
mengendalikan lebih dari 99% hama kebanyakan lahan agar tetap berada pada
jumlah yang tidak merugikan. Tanpa disadari, sebenarnya semua petani bergantung
pada kekuatan alami yang sudah tersedia di lahannya masing-masing. PHT secara
sengaja mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami yang menjadi jaminan
pengendalian, serta memperkecil pemakaian pestisida berarti mendatangkan
keuntungan ekonomis kesehatan dan lingkungan tidak tercemar (Oka, 2005).
Hama yang
mempunyai perkembangbiakansecara eksponensial disebut hamar-strategik dan mampu
menghasilkanketurunan dalam jumlah besar dalam waktusingkat. Hama r-strategik
biasanya terdapatpada tanaman pangan, sedanganhama k-strategik umumnya ada di
kehutanan.Hama r-strategik cepat menemukanhabitatnya yang sesuai untuk
berkembangbiak, cepat dan mampu menggunakansumber makanan dengan baik
sebelumserangga lain ikut berkompetisi, dan cepatberpindah ke habitat baru
sebelum habitatlama tidak berguna lagi (Baehaki, 2011).
Konsep
pengendalian hamaberdasarkanprinsip pengelolaanlingkungan tersebut
mendorongpenggunaanmusuh alami sebagaikomponen utamadalam budidayatanaman.Salah
satu predator WBC yangberperan besar dalam pengendalian WBCadalah laba-laba.
Laba-laba dapatmemangsa WBC hingga 15-20 imagoWBC per hari (Gunawan, 2015).
Pandangan PHT
salah satu upayapengendalian adalah dengan penanamansecara tumpang sari.
Penentuan jenistanaman pendamping yang akanditumpangsari dan waktu
penanamandisesuaikan dengan ketersediaan air yangada selama pertumbuhan
(Mudjiono, 2012).
Tanaman
repellent/penolakorganisme pengganggu tanaman (OPT)akan melindungi tanaman
didekatnyadengan bau-bauan yang dikeluarkan oleh tanaman tersebut, bentuk dan
warna daunatau bunga yang khas yang tidak disukaihama, sehingga hama akan
menjauh daritanaman utama(Nirmayanti, 2015).
Pengendalian
hama secara hayati denganpemanfaatan predator, parasitoid dan pathogen serangga
dinilai sangat prospektif. Hal itu didukungbeberapa alasan, di antaranya:
ketersediaan sumberhayati yang tak terhingga, ekosistem pertanian daniklim
tropis yang sangat mendukung dalamaplikasinya (Griffin et. al., 2000).
Musuh alami yang
efektif harusdilestarikan keberadaannya di lapangan sepertimelalui teknik
manipulasi lingkungan. Manipulasilingkungan adalah upaya penguatan peran
musuhalami melalui penyediaan inang atau mangsaalternatif, penyediaan sumber
nektar, ataumemodifikasi teknik budidaya tanaman termasukmenghindari kegiatan
yang berdampak burukterhadap musuh alami seperti penggunaaninsektisida
berspektrum lebar (Samsudin, 2011).
Pengendalian
hama terpadu (PHT)adalah pengendalian hama yang memilikidasar ekologis dan
menyadarkan diri padafaktor-faktor mortalitas alami sepertimusuh alami dan
cuaca serta mencariteknik pengendalian yang mendatangkangangguan sekecil
mungkin terhadapfaktor-faktor tesebut (Untung, 2006).
III.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Waktu
dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari, Selasa 17 dan 31 Mei 2016 pada pukul 16.00 WITA,
bertempat di Laboratorium Lapangan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Halu Oleo.
B.
Alat
dan Bahan
Alat yang
digunakan pada saat praktikum ini adalah kamera dan alat tulis-menulis.
Bahan yang
digunakan pada saat praktikum ini adalah jenis tanaman dan beberapa jenis hama
dan penyakit.
C.
Prosedur
Kerja
Prosedur kerja
yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan
pertama
Pengamatan
pertama dilakukan dengan mengamati keberadaan organisme penganggu tumbuhan
(OPT) seperti hama penyakit pada suatu tanaman. Setelah itu, melakukan
pengambilan gambar dan mencatat nama dari jenis organisme tersebut.
2. Pengamatan
kedua
Pengamatan
kedua dilakukan dengan mewawancarai setiap petani yang berada pada laha guna
untuk mengetahui jenis tanaman, jenis organisme pengganggu tumbuhan (OPT) serta
bagaimana teknik pengendalian pada tanaman tersebut.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Hasil yang diamati pada praktikum
ini adalah :
Tabel 1. Pengamatan Organisme Penganggu Tumbuhan
No
|
Nama Organisme
|
Hama/Penyakit
|
Keterangan
|
1
|
Belalang
|
Hama
|
Hama utama
|
2
|
Capung merah
|
Hama
|
Musuh alami
|
3
|
Burung pipit
|
Hama
|
Musuh alami
|
4
|
Kupu-kupu
|
Hama
|
Musuh alami
|
5
|
Semut hitam
|
Hama
|
Musuh alami
|
6
|
Lalat
|
Hama
|
Musuh alami
|
7
|
Kutu hijau
|
Hama
|
Musuh alami
|
8
|
Semut kecil
|
Hama
|
Vector
|
9
|
Helicoverpa
armigera
|
Hama
|
Hama utama
|
10
|
Kumbang
|
Hama
|
Vektor
|
11
|
Laba-laba
|
Hama
|
Vector
|
12
|
Kepik hijau
|
Hama
|
Hama utama
|
13
|
Ulat grayak
|
Hama
|
Hama utama
|
14
|
Busuk buah
|
Penyakit
|
Pathogen cendawan
|
15
|
Layu bakteri
|
Penyakit
|
Pathogen nematode
|
Tabel 2. Hasil Wawancara
Nama Petani :
Riska Sari
Alamat :
Laboratorium Lapangan (Lahan II)
Jenis Tanaman
|
Jenis OPT
|
Teknik Pengendalian
|
Keterangan
|
Hortikultura, tanaman
sayuran kangkung (Ipomea reptans
Poir)
|
Hama (Ulat) dan Gulma
|
Melakukan pemupukan
organik
|
Teknik pengendalian
sebaiknya dilakukan berawal pada saat pengolahan tanah yang dapat memutuskan
siklus hama, memilih benih yang sehat, tidak membunuh musuh-musuh alami guna
untuk menjadi predator dan parasitoid, mencabut gulma yang masih bias
dikendalikan dengan pengendalian fisik dan pengendalian kimia dengan cara
terakhir dengan menggunakan herbisida untuk memberantas gulma yang tak dapat
diberantas.
|
B.
Pembahasan
Konsepsi
pengendalian hama terpadu dipergunakan istilah “Integrated control/Integrated
pest management” (pengendalian terintegrasi) sebagai pemberantasan hama terapan
yang mengkombinasikan pemberantasan hayati dengan pemberantasan kimiawi.
Pengelolaan hama terpadu adalah pengendalian hama yang menggunakan semua teknik
dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang
seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama dibawah tingkat yang
menyebabkan kerusaka ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan dinamika populasi
spesies hama yang bersangkutan.
Keberadaan OPT
perlu diwaspadai sejak dini agar tidak terjadi serangan yang cukup berat dan
mengakibatkan kerusakan tanaman secara total atau tidak menghasilkan. Untuk
mencegah tingginya tingkat serangan perlu dilakukan upaya pengendalian hama
yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (pengendalian hayati) seperti
predator, parasit dan pathogen.
Hama adalah
hewan yang merusak tanaman atau hasil tanaman karena aktivitas hidupnya,
terutama aktivitas untuk memperoleh makanan. Hama tanaman memiliki kemampuan
merusak yang sangat hebat. Akibatnya tanaman dapat rusak atau bahkan tidak
menghasilkan samasekali.
Penyakit tanaman
adalah gangguan pada tanaman yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Mikroorganisme tersebut adalah virus, bakteri, protozoa, jamur, dan cacing
nematoda. Mikroorganisme ini dapat menyerang organ tumbuhan seperti pada akar,
batang, daun dan buah.
Penyakit
berpotensi sebagai salah satu faktor pembatas dalam pencapaian potensi hasil
yang dimiliki oleh setiap varietas, sehingga upaya pengendalian dan penggunaan
varietas unggul yang mempunyai sifat daya tahan terhadap cekaman penyakit
sangat diperlukan.
Teknik
pengendalian yang dapat dilakukan dengan mengusahakan pertumbuhan tanaman
sehata. Tanaman sehat ialah tanaman yang terlihat segar, tumbuh normal menurut
kriteria pertumbuhan yang telah diketahui dilihat dari kesehatan benih.
Tanda-tanda benih sehat ialah benih harus bersih, terlihat bernas, tidak
berkeriput, tidak ada gejala-gejala penyakit dan persentase tumbuhnya hampi
100%. Tanaman sehat akan lebih mampu menahan serangan berbagai spesies hama.
Usaha pertumbuhan tanaman sehat, yaitu pola tanam, pergiliran tanaman,
sanitasi, pemangkasan, waktu tanam, pemupukan, pengelolaan tanah dan pengairan,
tanaman perangkap dan penggunaan mulsa.
Pengendalian
hayati (musuh-musuh alami) adalah pengaturan populasi kepadatan organisme oleh
musuh-musuh alamnya, hingga tingkat kepadatan rata-rata organisme tersebut
lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diatur oleh musuh alamnya. Dari
segi kepentingan manusia musuh-musuh alam tersebut dimanfaatkan sebagai
pengendali hama agar fluktuasi kepadatan rata-rata populasi hama tanaman selalu
rendah.
Pengendalian
dengan varietas tahan, dimana varietas-varietas yang memang tahan terhadap
serangan hama-hama tertentu. Daya tahannya itu diwariskan kepada keturunannya,
jadi daya tahan yang diwariskan secara genetik.
Pengendalian
secara mekanik dengan menggunakan alat/bahan untuk membinasakan hama, termasuk
menggunakan tangan kita untuk mengambil/menangkap hama. Pengendalian secara
fisik adalah memanfaatkan factor-faktor fisik (suhu panas/dingin, suara,
kelembaban, perangkap cahaya) untuk membinasakan atau menekan perkembangan
populasi hama.
Pengendalian
secara genetik dengan kemungkinan dirubah komponen-kompoengenetik populasi hama
atau mekanisme pewarisannya (teknik jantan mandul dengan radiasi, zat kimia
pemandul) dengan tujuan untuk mengendalikan hama tersebut.
Pengendalian
kimiawi dengan menggunakan pestisida yang merupakan zat-zat kimia untuk
membunuh hama. Penggunaan dilakukan berdasarkan golongan hama yang diberantas
dan efek terhadap hama.
V.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konsep
pengendalian hama terpadu tersebut mutlak penting diterapkan untuk lebih
menjamin proses pembangunan pertanian yang mengutamakan kelestarian lingkungan,
termasuk kesehatan manusia suatu teknologi pertanian yang bersahabat dengan
lingkungan, memantapkan taraf produksi yang telah dicapai dan meningkatkan
efisiensi masukan.
Konspe
pengendalian hama terpadu dalam menanggulangi sesuatu spesies atau sekelompok
spesies hama penting dapat menggunakan teknik-teknik pengendalian yang cocok
digabungkan menjadi satu kesatuan program pengendalian. Teknik-teknik
pengendalian yang dapat dilakukan dengan mengusahakan pertumbuhan tanaman
sehat, pengaturan populasi musuh-musuh alami, menggunakan varietas tahan,
pengendalian mekanik, pengendalian fisik, menggunakan senyawa kimia semio,
pengendalian secara genetik dan cara paling terakhir yaitu menggunakan pestisida.
Apabila dengan menggunakan satu teknik pengendalian sudah berhasil, maka yang
lainnya tidak diperlukan.
B.
Saran
Saran yang dapat
diberikan pada praktikum ini adalah dalam mengamati organisme pangganggu
tumbuhan dibutuhkan ketelitian agar dapat terhindar dari pemberantasan
musuh-musuh alami, sedangkan yang harus dikendalikan adalah hama utamaya, serta
dapat memperhatikan teknik-teknik pengendalian dengan baik agar tidak
menimbulkan kepadatan populasi suatu spesies hama pada suatu tanaman
DAFTAR
PUSTAKA
Baehaki, 2011. Strategi fundamental pengendalian hama wereng batang coklat dalam
pengamanan produksi padi nasional. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Pengembangan Inovasi Pertanian, 4(1):
63-75.
Chandra, W., 2013. Pengendalian hama dari tanaman dan gulma
yang ramah lingkungan. (Online)
http://www.mongabay.co.id/2013/09/09/pengendali-hama-dari-tanaman-dan-gulma-yang-ramah-lingkungan/
diakses Tgl. 14 Juni 2016.
Griffin, C.T., D. Chaerani, A.P. Fallon, Reid dan M.J. Downes, 2000. Occurrence
and distributionof the entomopathogenic nematodesSteinernema spp. and Heterorhabditis
indicain Indonesia. Journal of Helminthology, 74: 143-150.
Gunawan, C.S.E., G, Mudjiono dan L.P. Astuti, 2015. Kelimpahan populasi
wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal. (Homoptera: Delphacidae)
dan laba-laba pada budidayatanaman padi dengan penerapan pengendalian
hamaterpadu dan konvensional. Jurnal HPT, 3(1): 119-121.
Mudjiono, G., 2012. Pengelolaan HamaTerpadu. UB Press. Malang.
Nietschke, B.S., R.D. Magarey, D.M.
Borchert, D.D. Calvin dan E.Jones, 2007. Adevelopmental database to
supportinsect phenology models. Crop
Protection, 26:1444–1448.
Nirmayanti, F., G. Mudjiono dan S. Karindah, 2015. Pengaruh beberapa
jenis tanaman pendamping terhadaphamaPhyllotreta striolata F.
(Coleoptera: Chrysomelidae)pada budidaya sawi hijau organik. Jurnal HPT,
3(2): 70-71.
Novizan, 2008. Petunjuk pemakaian
pestisida. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Oka, I.N., 2005. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 255 hal.
Rizka, N., 2015. Kajian jenis hama dan efektivitas pola tanam tanaman repellent terhadap penurunan
kepadatan populasi hama penting pada tanaman brokoli (Brassica oleracea L. var italica). Universitas Negeri Malang.
Malang.
Samsudin dan I.M. Trisawa, 2011. Teknologi pengendalian hayati hama
penghisap pucukdan bunga pada jambu mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Aneka Tanaman Industri. Sukabumi.
Subagiya, 2013. Kajian efektifitas pengendalian hama padi secara alami dengan semut
predator yang bersarang di tanah (Solenopsis geminata (f)).Jurnal
Ilmu Tanah dan Agroklimatologi,10 (1): 1-2.
Thomson, L.J., S. Macfadyen dan A.A.
Hoffmann, 2010. Predicting the effects of climate change on natural enemies of
agricultural pests. Biological Control, 52: 296–306.
Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University
Press.Yoyakarta.
Wetterer, J.K. dan R.R. Snelling, 2006.
The red imported fire ant, Solenopsis invicta, in the virgin islands
(hymenoptera: formicidae). Florida
Entomologist, 89 (4): 431–434.